Oleh: Faisal Abdullah*
Di era milenial, laju perubahan sangat cepat dan fundamental, mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan pola-pola tatanan baru. Maka bagi siapa yang tidak mampu menyesuaikan diri, dia bisa “terjungkal”. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, Ratu Elizabeth I juga pernah mengungkapkan, mesin bakal mengubah para pekerja menjadi seorang “pengemis” karena telah kehilangan pekerjaannya.
Sebagai intelektual, santri tidak bisa berdiam diri dengan kondisi lingkungan yang terus bergerak, sehingga perubahan mindset mutlak diperlukan untuk mengarahkan pergerakan santri ke arah yang diinginkan. Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya perubahan, salah satunya adalah tuntutan untuk survive. Namun mempertahankan untuk tetap survive di era disrupsi mempunyai tantangan tersendiri. Terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah mengantarkan pondok pesantren menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional dan merupakan ruang aktualisasi untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan peluang juga sekaligus tantangan bagi pondok pesantren.
Masuknya variabel ekonomi ke dalam pesantren mengantarkan lembaga pendidikan khas Islam di Indonesia ini kepada sebuah situasi yang lebih “menantang”. Dahulu orang belajar di pondok pesantren adalah untuk belajar ilmu agama agar ia menjadi orang yang ‘alim, sekarang orang belajar ke pondok pesantren tidak saja untuk belajar ilmu agama, melainkan juga siap berkompetisi dalam dunia usaha maupun tenaga kerja setelah ia lulus nanti.
Kitab Ihya’ Ulum al-Din merupakan salah satu karya al-Ghazali yang di tulis pada abad ke lima hijriyah dan memiliki pengaruh sangat besar di seluruh dunia, terlebih di Indonesia telah di jadikan kurikulum resmi di berbagai pondok pesantren berbasis salafiah utamanya pesantren pesantren di pulau Jawa.
Dalam tradisi Pesantren sudah menjadi kelaziman bahwa, yang mengajarkan Kitab Ihya’ Ulum al-Din kepada para santrinya adalah sang Kiai yang menjadi pengasuh dari pesantren tersebut, hal ini mengingat begitu penting dan mulyanya ajaran yang hendak di wejangkan melalui kitab Ihya’ ulum al-Din tersebut. Menurut al-Maghfurlah KH. Maimun Zubaer (Mbah Mun) pengasuh pesantren Sarang, bahwa khataman Ihya’ kalau dimeriahkan, biasanya tidak sampai lima kali Kiainya sudah meninggal. Beliau menyebut beberapa contoh diantaranya, Kyai Ihsan Jampes Kediri, Kyai Jazuli Jember, Kyai pesantren Mayang Ponorogo, dan seorang kyai dari Palembang yang diceritakan mbah mun. Dari pandangan al-Maghfurlah KH. Maimun Zubair tersebut dapat digambarkan Sakralitas kedudukan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali, Artinya Kitab ini begitu memiliki tempat yang istimewa di tengah-tengah budaya akademis komunitas pesantren.
KONSEP ETIKA BISNIS DAN TRANSAKSI DALAM KITAB IHYA’ ULUM AL-DIN
Pemikiran ekonomi Al-Ghazali banyak di dapati dalam bab Adab al-kasbi wa al-ma’asy dimana Al-Ghazali dalam mukadimah bab ini menyampaikan 3 (tiga) kelompok manusia : 1. Orang yang disibukkan oleh tempat hidupnya (dunia), daripada tempatnya kembali nanti (akhirat), mereka ini disebutkan oleh Al-Ghazali sebagai orang yang binasa (haalikiin), 2. Orang yang disibukkan oleh tempat kembalinya (akhirat), daripada hidupnya sekarang (dunia), mereka termasuk orang yang beruntung (faiziin), 3. Orang yang disibukkan oleh tempat hidupnya (dunia), untuk tempatnya kembali nanti (akhirat), golongan ini yang diharapkan karena ada keseimbangan dalam urusan duniawi dan ukhrawi.
Ibarot Kitab Ihya’ Ulumiddin
Pesan al-Ghazali di atas sangat penting dipegang erat bagi para santri, setidaknya ada pilihan ideal yang dapat diraih bagi santri berfaham Aswaja, yaitu keseimbangan (Tawazzun) antara kedua alam kehidupan (dunia dan akhirat).
Untuk mencapai target maksimal dalam berbisnis, menurut Ihya’ ulum al-Din ada tujuh hal yang perlu di perhatikan dalam menjalankan bisnis (melakukan aktivitas ekonomi):
MELURUSKAN NIAT DALAM BERBISNIS.
Niat yang baik dan akidah yang suci merupakan salah satu saham yang kita investasikan untuk akhirat, berniatlah bahwa kita berdagang untuk menjauhkan diri dari tindakan mengemis dan minta-minta kepada orang lain. Seraya menetapkan niat dengan berdagang mendapatkan uang yang halal. Dengan berbisnis (berdagang) kita terjauh dari tindakan mencari harta dengan cara haram, seperti mencuri dan berzina. Dengan berbisnis kita bias menegakkan agama dan membiayai keluarga.
BISNIS SEBAGAI BAGIAN DARI KEWAJIBAN IBADAH (FARDHU KIFAYAH).
Dalam berbisnis dan bekerja niatkanlah bahwa kita sedang melaksanakan ibadah fardlu kifayah. Sebab jika kehidupan bisnis kita tinggalkan, kehidupan akan macet sehingga menimbulkan bencana kepada seluruh ummat manusia. Untuk itulah di butuhkan tolong menolong dalam tatanan seluruh aspek kehidupan, sehingga dalam menjalankan pekerjaanya (perannya) setiap orang harus konsisten (professional).
MENYEIMBANGKAN KEPENTINGAN UKHROWI DAN DUNIAWI DALAM BERBISNIS.
Jangan sampai pasar dunia melalaikan pasar akhirat, pasar akhirat adalah masjid. Oleh karena itu al-Ghazali berharap bahwa saat menjalankan aktivitas di pasar, semata-mata hanya untuk menjalankan perintah Allah Swt. Jika di siang hari mendengar suara adzan maka segeralah meninggalkan semua pekerjaan, sehingga saat itu tidak ada seorang pun yang ada di pasar kecuali anak-anak di bawah umur.
TERUS BERDZIKIR SELAMA BERADA DALAM RUANG BISNIS.
Idealnya seorang pebisnis menjadikan ruang bisnisnya (pasar) sebagai tempat untuk mengingat Allah. Dengan demikian seorang pebinis akan selalu ingat bahwa mengais rizki untuk hidup didunia secara cukup bukan semata mata mencari kemewahan dunia, sebaliknya menjadikan dunia sebagai sarana akhirat.
JANGAN TERLALU AMBISIUS KETIKA BERBISNIS.
Al-Ghazali menuturkan: ”Hendaknya jangan terlalu ambisi meraih untung besar (atau memaksakan diri). Misalnya, orang yang masuk pasar pertama dan pulang terakhir dan orang yang berniaga memaksakan diri mengarungi lautan demi perniagaannya”. Kedua hal tersebut, sepatutnya untuk tidak dilakukan. Al-Ghazali memberikan solusi terbaik yaitu berbisnis dengan cara efektif dan efisien.
MENJAUHKAN BISNIS DARI TATACARA DAN PRODUK YANG MERAGUKAN (SYUBHAT).
Dalam bisnis yang baik tidak hanya menghindari produk yang haram saja, akan tetapi juga produk barang yang syubhat (meragukan kulaitas dan halalnya), bukan hanya karena mendengar fatwa ulama akan tetapi juga mendengarkan hati nuraninya sendiri. Sehingga dapat dipastikan setiap barang yang di bisniskan telah mencapai derajat yakin akan kehalalan dan kualitasnya.
SENANTIASA MELAKUKAN EVALUASI KINERJA DALAM BERBISNIS.
Sudah menjadi kewajaran dan keharusan untuk pelaku bisnis selalu meneliti kembali dan mengawasi, segala bentuk transaksi bisnis yang telah berlangsung antara dia dan pada orang yang bertransaksi padanya. karenanya al-Ghazali menyarankan untuk selalu berbuat ’adl (keadilan), ihsan (kebaikan) dan syafaqah (keprihatinan dan kepedulian) dalam menjalankan aktivitas ekonomi.
Selain membahas tentang etika bisnis secara dalam bab ini al-Ghazali juga mengupas masalah etika dalam bertransaksi (muamalah), al-Ghazali menegaskan dalam menjalankan muamalah hendaknya terkandung unsur ihsan (kebaikan), karena kebaikan merupakan penyebab keberhasilan dan diraihnya kebahagiaan, yang dalam perdagangan dapat dimisalkan dengan adanya laba yang diperoleh. Untuk mencapai derajat muamalah (transaksi) yang bernilai ihsan, maka seseorang harus melakukan salah satu dari enam (norma/ aturan, etika dalam ber-muamalah) : Pertama, mengambil keuntungan secara wajar. al-Ghazali menuturkan, “Meskipun mengambil keuntungan ketika menjual (barang atau jasa) merupakan hal yang diperbolehkan, mengingat yang demikian itu memang merupakan tujuan utamanya, namun tidak sepatutnya seseorang mengambil keuntungan dari si pembeli lebih dari apa yang dianggap wajar menurut kebiasaan yang berlaku”. Kedua, tidak mempersulit ketika berjual beli dengan orang miskin. Beliau menyampaikan, ”Manakala seorang pembeli bahan makanan atau sesuatu lainnya dari orang miskin, hendaklah ia tidak dipersulit dan tidak pula merasa tertipu (atau dirugikan) seandainya harga yang harus dibayar sedikit lebih mahal dari pedagang yang lain. Sikap seperti ini adalah perbuatan Ihsan”. Ketiga, berbuat baik saat menagih hutang. Al-Ghazali mengungkapkan: ”Berbuat baik (Ihsan) saat menagih hutang, adakalanya dilakukan dengan menganggap lunas, baik semuanya maupun sebagian, atau dengan mengundurkan waktu pembayaran, ataupun dengan mengurangi persyaratan pembayaran yang memberatkan”. Keempat, berbuat baik saat membayar hutang. Al-Ghazali juga memberikan pesan pada pelaku ekonomi, saat membayar hutang agar senantiasa berbuat baik saat membayar hutang yaitu dengan cara menghantarkan pembayaran ke tempat si pemberi hutang, sehingga tidak membebaninya untuk datang menagih”. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: ”Yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik dalam cara pelunasannya”. (HR. Mutafaq ’ Alaih). Kelima, membatalkan transaksi saat penjual mendapatkan penyesalan. Al-Ghazali juga memberikan pesan pada pelaku ekonomi, untuk membatalkan transaksi, jika terdapat penyesalan. Karena tidak sepantasnya si pembeli (atau si penjual) rela menjadi penyebab kerugian bagi saudaranya sendirinya. Keenam, memberikan kelonggaran pembayaran bagi kaum faqir dan miskin.
Konsep etika bisnis dan transaksi oleh al-Ghazali ini paling tepat dipelopori santri dalam fenomena disrupsi sekarang ini, santri harus mampu menjadi filter dalam dunia agama, pendidikan, sosial dan bisnis. Meskipun laju perubahannya sangat cepat dan fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama, namun pedoman, “Al-Muhafadzatu ‘Ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Aslah” yakni memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik, harus tetap dibumikan sampai akhir nanti.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana dan Pengurus Bidang Kajian Aswaja Unwahas
Leave a Comment