Budaya Jawa kaya akan konsep-konsep filosofis yang memiliki referensi praktis dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Salah satunya adalah Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Ungkapan dari Bahasa Jawa ini pada dasarnya menyiratkan bahwa kelembutan atau kebaikan dapat mengakhiri kemarahan yang tidak terkendali. Sebuah kejahatan yang kejam dapat dikalahkan oleh kebajikan yang mendatangkan kedamaian. Dengan demikian, gagasan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti menyoroti perlunya ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan. Mempertahankan pola pikir yang lembut dan tanpa kekerasan dapat menghasilkan hasil yang baik. Mengingat adanya rasa kebencian dan kekerasan yang melanda dunia modern baik dalam skala lokal maupun global, jelaslah bahwa konsep ini penting dan relevan. Dalam hal ini, Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti dapat menjadi filosofi kesuksesan bagi orang-orang yang ingin sukses dalam hidup.
Melalui tulisan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti sebagai warisan budaya peradaban manusia yang terus memberikan motivasi yang diperlukan agar manusia dapat berhasil dalam hidup dan menemukan makna di dalamnya. Terlepas dari kenyataan bahwa pepatah ini berasal dari budaya Jawa, salah satu budaya yang ada di Indonesia, pepatah ini memiliki kekuatan untuk menginspirasi semua orang. Secara umum, Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan kebajikan yang meningkatkan kesadaran akan pentingnya mempertahankan rasa saling mengasihi dan menjaga perdamaian dengan penuh kesabaran dan ketekunan sangat dibutuhkan di dunia saat ini. Secara keseluruhan, maka Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, kesuksesan dapat diwujudkan sepenuhnya jika dicapai dengan menghindari rasa kebencian dan angkara murka.[1]
Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873), seorang penyair terkenal dari Keraton Pakubuwana Surakarta, menulis sebuah puisi dalam Serat Witaradya yang memuat bait Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Hal ini menunjukkan bahwa pepatah tersebut pada dasarnya ditemukan dalam puisi dalam sastra Jawa. Meskipun demikian, jenis karya seni ini mampu menangkap dan menyampaikan nilai-nilai kehidupan manusia.
Sebagai mahasiswa tentunya kita harus bisa mengendalikan masyarakat dilingkungan sekitar agar tidak mudah terbawa arus kerasnya perkembangan jaman dan perubahan sosial. Seringkali masyarakat mudah terbawa emosi Ketika ada beberapa hal kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat yang berakhir pada kerusuhan ( Chaos ) dan malah memperburuk keadaan. Paradigma sebagai kerangka dan menjadi jalan dalam menyelesaikan sebuah permasalah dengan damai dan memberikan Solusi yang solutif kepada masyarakat untuk menghadapi kebijakan pemerintah yang sangat jarang memikirkan rakyatnya.
Nilai-nilai Ke Aswajaan berperan penting dalam hal ini. Kedudukan prinsip nilai aswaja sebagai wadah untuk menata nilai-nilai moral yang tertuang didalamnya serta sebagai landasan yang sangat sakral dalam prilaku, berpikir serta bersikap sesuai dengan nilai Ke Islaman. Nilai aswaja yang digunakan sebagai manhaj dalam perubahan sosial dengan landasan nilai-nilai keislaman dan keindonesia-an.
Sebagai seorang muslim yang militan seharusnya kita belajar dari Sejarah bagaimana Rasulullah yang notabene-nya sebagai panutan umat muslim di seluruh belahan dunia dalam menyikapi hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dengan cara yang indah serta tidak menimbulkan keributan yang lebih besar kepada masyarakat sekitar, sebagai mahasiswa yang mempunyai peran sebagai agent of change agent of control harus sadar akan hal ini untuk mengontrol kesejahteraan masyarakat serta membawa perubah menuju yang lebih maju dan damai. Akan tetapi banyak kader yang kurang kesadarannya akan hal ini, meraka hanya ikut-ikutan saja tanpa tahu apa yang meraka perjuangkan dan bagaimana cara agar hal tersebut bisa tercapai tanpa memperburuk keadaan. Meraka hanya ikut untuk eksistensinya sendiri bahwa dia adalah seorang aktivis, padahal yang mereka lakukan belum tentu benar dan sesuai. Banyak yang mengaku aktivis pergerakan tapi gerak asal-asalan tanpa memahami kondisi dan memberikan sosulsi, mereka hanya kritis dalam menyikapi kesalahan-kesalahan tapi tidak memberikan Solusi ataupun saran yang baik, yang ada hanya memperburuk keadaan. Inilah yang disebut sebagai kader eksistensialisme.
Peran mahasiswa disini sebagai pembawa perubahan untuk lebih maju dan Sejahtera. Persoalan muncul ketika: 1). kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat.2). kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru. maka sudah sepatutnya bahwa kita memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu,deengan mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menariknarik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer. Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingankepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut.
[1] Santosa, Nyong Eka Teguh Iman, Kumara Adji Kusuma, and Isna Fitria Agustina. “Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti.” (2018)
Leave a Comment