Saya ingin memulai essai ini dengan dialog antara suami saya dengan saya sendiri terkait pertanyaan di atas. Dialog itu kurang lebih seperti ini; “mangapa umat Islam mundur sedangkan umat lain (Barat) mencapai kemajuan?” tanyaku tadi pagi menjelang sholat berjamaah dengan suami. Dan dengan bahasa tutur yang santai suamiku menjawab, “itu adalah pertanyaan yang sudah lama sekali, bahkan sudah disampaikan oleh pak yai ( yang dimaksud disini adalah pemimpin ponpes dimana dulu suami saya nyantri di salah satu ponpes Jogja sekian tahun). Orang muslim dengan orang non muslim dalam melihat “dunia” mempunyai paradigama yang berbeda. Jika orang non muslim mencapai kemajuan yang pesat, itu wajar karena orientasi hidupnya hanya masalah dunia. Lain halnya dengan orang muslim, orientasi orang muslim adalah dunia dan akhirat. Maka wajar bila muslim tidak mencapai kemajuan yang signifikan sebagaimana orang-orang non muslim. Ukuran kemajuan orang muslim tidak hanya dunia, tetapi juga akhirat”. Sontak saya menimpali dengan jawaban, “wah ini jawaban normative sekali, dan jadi wajar bila muslim tidak mencapai kemajuan karena pemikiran-pemikiran yang demikian”.
Apa yang dikatakan suami saya memang benar, mempertanyakan mengapa umat Islam mundur sedangkan umat lain maju adalah pertanyaaan yang sudah sangat lama sekali. Karena pertanyaan ini sudah pernah dipertanyakan puluhan tahun yang lalu oleh Syakib Arslan (1869-1946) lewat tulisannya dalam sebuah jurnal dengan judul Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?” dan kemudian dijadikan sebuah judul buku. Dalam buku tersebut Arslan mengidentifikasi mengapa umat Islam mundur. Diantaranya yaitu kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, lemahnya semangat berkorban, dan hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian. Walaupun pertanyaan itu lahir dalam konteks kolonialisme kala itu, namun hingga sekarang fakta, faktor-faktor tersebut masih melekat dalam diri kaum muslim. Umat Islam, sebagian besar malas berpikir untuk kehidupan dunia, diantaranya adalah karena sebagaimana dialog saya dengan suami saya di atas, mereduksi Islam hanya berkutat dengan masalah akhirat an sich.
Pemahaman ideologi keislaman yang demikian, menancap lama hingga berakar di kalangan muslim sendiri berkaitan dengan pemahaman tentang kehidupan dunia (cara memandang dunia). Sebagian umat islam menegaskan untuk memberi jarak yang tegas antara kehidupan dunia dan akhirat, bahkan kalau memungkinkan adalah bungkusnya (casing) dunia sedangkan hakekat (isinya) adalah akhirat. Atau dalam kategori yang lebih ekstrim, seolah-olah antara dunia dan akhirat tidak bisa dipadukan. Pandangan yang demikian ini berdampak pada berbagai lini. Termasuk dalam pendidikan. Pemisahan penyebutan ilmu agama dan ilmu umum saja ini sangat kental dengan nuasa paham orientasi akhirat. Tidak sedikit kaum muslim di Indonesia misalnya, mengarahkan anak ke sekolah keagamaan, atau ke pesantren, dengan tujuan terpenuhinya ilmu-ilmu yang berorintasi kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini benar namun tidak sepenuhnya. Karena pada dasarnya tidak ada ilmu dunia maupun akhirat. Semua ilmu bila memberikan kebermanfaatan untuk orang lain, itu sama saja dengan ilmu akhirat ( menabung amal untuk akhirat). Akibat dikotomi keilmuwan yang demikian, ilmu-ilmu kealaman ( natural sciences) jarang dilirik oleh kaum muslim bahkan ada yang berargument bahwa ilmu ilmu alam adalah praktik orang-orang kafir. Padahal bila kita membuka kembali lembaran sejarah, kejayaan umat Islam di masa lampau itu dimulai dari perhatian umat Islam kepada sains. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sains modern terdapat jejak-jejak sains Islam di dalamnya. Sebagaimana diungkapkan Desmond Stewart dalam bukunya Early Islam,
“manusia modern sangat bergantung pada obat-obatan, kemahiran dokter, hitungan computer, dan ramalan-ramalan perencanaan ekonomi- lebih banyak berhutang kepada sarjana-sarjana Islam Abad Pertengahan melebihi yang selama ini disangka. Para ahli kimia, dokter-dokter, ahli ilmu bintang, ahli matematika, ahli ilmu bumi, dan ahli muslim lainnya antara abad ke 9 dan ke 14”
Faktor lain yang menurut saya cukup dominan sebagai penyebab kemunduruan kaum muslim adalah Ketergantungan kepada seorang figure (tokoh). Seorang tokoh, terutama ulama, kyai atau wali menjadi sentral keagamaan yang tidak bisa dilepaskan dari umatnya. Ijtihad keilmuwan, arahan, nasehat, tak jarang menjadi semacam way of life untuk pengikuf fanatiknya. Ketika tokoh yang digemari mengatakan haram melakukan ini atau itu, secara otomatis pengikut fanatiknya akan mengikuti.
Ini yang kemudian kerap kali menjadikan pintu ijtihad tak lagi terbuka lebar. Karena tidak ada keberanian untuk mengintrepretasi ulang ayat-ayat Tuhan. Seolah olah interpretasi dari para ulama terdahulu sudah final. Pesan-pesan teologi Tuhan untuk manusia sudah final. Padahal yang namanya teologi,dalam bahasa Armahedi Mahzar, adalah kontruksi intelektual manusia yang mencoba memahami pesan-pesan religius para nabi. Ini artinya kontruksi (buatan) manusia itu mestinya dinamis, sesuai dengan semangat zaman, bukan statis karena setiap zaman punya tantangan yang berbeda beda. Sayang sekali, pemikiran-pemikiran keagamaan yang mencoba menyelaraskan agama dengan semangat zaman kerap kali mendapat stigma buruk, liberalis, murtad dan lain sebagainya, sebagaimana yang terjadi dengan Nasr Hamid Abu Zayd misalnya, tokoh pembaharu dari Mesir yang diusir oleh negaranya.
Bagi saya fanatisme terhadap tokoh tertentu ini juga berdampak luas dalam kebijakan hidup, lebih-lebih tokoh-tokoh yang kerap mengajak umat Islam untuk “berklangenan” dengan kebesaran Islam di masa lalu dan menyerukan segala urusan dunia kepada Tuhan, dengan cara menanti mukjizat Allah yang menurutnya akan datang bila senantiasa bersabar dan bertawakal. Dalam suatu rumah tangga misalnya, ada suami yang melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dengan istrinya. Pada era dulu mungkin kasus rumah tangga oleh para pemuka agama dianggap sebagai hal tabu, menyebarkan aib suami ataupun istri. Tetapi sains mengadakan pendekatan berbeda. KDRT terjadi bisa jadi karena suami mempunyai penyakit mental, memukul tanpa rasa belas kasihan, kalau ini memang penyakit, maka ini bukan persoalan melindungi kekurangan pasangan, tetapi butuh penyembuhan. Di butuhkan ilmu ilmu kejiwaan. Disinilah sains berperan. Mengembalikan segala persoalan “glondongan”kepada Tuhan, justru bukan sikap religius. Sikap religius adalah mencoba mendekati berbagai persoalan dengan sikap ilmiah ( hukum kausalitas) . Karena sikap ilmiah adalah sikap berusaha untuk memahami tanda-tanda Tuhan yang telah disebar ke berbagai penjuru bumi.
Selain itu, umat Islam, sebagaimana dikatakan Arslan, enggan belajar (malas) belajar dengan bangsa (agama) lain, yang masih mempunyai kearifan lokal , tetapi mampu menyerap perkembangan zaman seperti Jepang dan Korea Selatan misalnya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di dunia modern ini sudah banyak membantu kehidupan manusia, untuk lebih sehat, nyaman, dan praktis. Tetapi sifat sains yang cenderung mengangungkan kebenaran objektif dan otonom, tak jarang kita mendapatkan gambaran seringnya terjadi benturan antara agama dan sains, seperti hanya wacana hukum kausalitas di kalangan para filsuf muslim kita. Umat Islam perlu juga belajar dari agama lain yang mencoba mendamaikan sains dengan agama sebagaimana umat kristiani misalnya. Ian G Barbour, dalam bukunya “Menemukan Tuhan dalam Sains dan Agama Kontemporer”, banyak berbicara bahwa agama dan sains tidak lagi independensi, dialog, tetapi adalah integrasi (penyatuan). Karena mau tidak mau, ilmu pengetahuan modern sudah lama memunculkan tantangan serius terhadap agama. Teori evolusi Darwinian, kosmologi modern, fisika, fisika, teknologi rekayasa genetika, penciptaan kecerdasan-buatan ( kecerdasan buatan ), adalah tantangan-tantangan zaman yang perlu sekali agama menyikapi secara kritis dan progresif. Sehingga agama tidak dinilai klasik dan usang. Untuk itu perlu sekali umat Islam untuk bangkit, semangat memperlajari Ilmu-ilmu teknologi modern karena hal ini adalah bagian dari ijtihad nyata. Dakwah nyata di dunia modern.
Penulis: Fina Mazda Husna
Leave a Comment